• +62 21 351 4348
  • sekretariat@dppinsa.com

Dorong Tuntaskan Empat Hambatan Akselerasi Sektor Pelayaran

Dorong Tuntaskan Empat Hambatan Akselerasi Sektor Pelayaran

INDONESIAN National Shipowners’ Association tahun 2025 ini tepat berusia 58 tahun. Meski telah berumur lebih dari satu abad, namun anggotanya yang khusus bergerak di sektor pelayaran masih menghadapi berbagai tantangan dan hambatan.

Indonesian National Shipowners' Association yang dipimpin Siana A. Surya sebagai Ketua Umum mencatat ada empat hal penting yang harus menjadi perhatian untuk meningkatkan daya saing pelayaran nasional menuju Indonesia Emas 2025. Keempatnya adalah masalah PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) bidang angkutan laut, Taksonomi bagi pelayaran, Penerapan PBI No. 17 tahun 2015 dan Surat Edaran No. SRT-0102/SKKMA0000/ 2018/S6. 

Revisi PNBP

Indonesian National Shipowners' Association terus mendorong agar kebijakan tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor Perhubungan Laut direvisi karena sangat memberatkan dunia usaha angkutan laut dan tidak mendukung terwujudnya ekonomi berkeadilan.

Hal ini dikarenakan sejumlah hal. Pertama, terdapat 435 atau 51% tarif baru dari seluruh pos tarif, dan 482 atau 57% dari seluruh pos tarif PNBP yang naik 100% hingga 1.000% dibandingkan dengan pos taif yang diatur berdasarkan PP No.6 tahun 2009.  Kenaikan tarif 1.000% ditemukan a.l pada tarif penggunaan perairan untuk bangunan dan kegiatan lainnya di atas air yang naik 10x lipat dari dari 250 per M2 per tahun menjadi Rp2.500 per M2 per tahun. Selain itu, terdapat pos tarif yang tidak jelas pelayanannya, tetapi harus dibayar (No service but pay). Sebagai contoh adalah tarif PNBP atas pengawasan kegiatan bongkar muat barang di pelabuhan yang tidak jelas manfaatnya, tetapi ditagihkan tarifnya sebesar 1% dari total tarif bongkar muat barang di pelabuhan.

Kemudian rumus dan perhitungan tarif PNBP yang ditetapkan berdasarkan peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Laut No. KU.404/2/11/DJPL-15 tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku pada umumnya yakni perhitungan tarif PNBP untuk kelompok sewa perairan dengan rumusan pada pasal 12 huruf c angka 4 yang naik hingga 76 kali lipat.

Contohnya adalah tarif PNBP atas kapal FSO yang dihitung dengan rumus luas bangunan perairan dihitung dengan jari-jari sama dengan ukuran panjang kapal (LOA) terbesar termasuk peralatan bantu yang digunakan ditambah 25 M atau A=π x (L + 25 M)2 dengan π= (22/7).

Dengan simulasi panjang kapal FSO 267,90 M, maka tarif PNBP meningkat dari Rp67 juta pada 2009 menjadi Rp5,1 miliar pada 2016. Perhitungan tarif PNBP atas sertifikat kapal seharusnya memiliki kejelasan masa berlakunya. Dan tarif PNBP dibayar secara prorata jika masa berlakunya lebih pendek dari masa berlaku yang ditetapkan di dalam PP No.15 tahun 2016. 

Perhitungan tarif PNBP navigasi adalah dihitung 15 hari. Jika jumlah hari yang digunakan kurang dari 15 hari, seharusnya dihitung pro-rata sesuai dengan hari yang digunakan, bukan tetap menjadi 15 hari. Oleh karena itu, seyogyanya, kebijakan PNBP bidang angkutan laut dievaluasi.

Taksonomi

Bahwa TKBI versi 2 untuk sektor transportasi laut disusun dengan merujuk kepada peraturan perundang-undangan Indonesia serta dokumen-dokumen standar perkapalan yang berlaku di dunia internasional yang diantaranya ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance (Ver. 3) (ASEAN Taxonomy) dan IMO Standards (IMO). Kami sekali lagi memberikan apresiasi dengan diadopsinya dokumen standar yang berlaku internasional yang menurut hemat kami adalah keputusan yang tepat. 

Meskipun demikian, melalui suratnya No. DPP-SRT-/25/012 tertanggal 10 Maret 2024 yang ditujukan kepada Otoritas Jasa Keuangan, Indonesian National Shipowners' Association memberikan sejumlah masukan. Pertama, bahwa buku panduan TKBI versi 2, mencantumkan aspek jenis muatan atau kargo kapal yang mana tidak dilakukan baik oleh ASEAN Taxonomy maupun dokumen IMO. Hal ini akan memberikan dampak negatif terhadap usaha pelayaran, khususnya dalam memenuhi klasifikasi "hijau". Sebagai gambaran atas kondisi ini, kapal yang memenuhi standar lMO tetapi mengangkut bahan bakar fosil (contohnya Minyak Mentah), tetap diperbolehkan oleh ASEAN Taxonomy & dokumen IMO akan tetapi akan dalam TKBI Versi 2 akan dikecualikan.

Prinsip pengaplikasian ketentuan dokumen IMO adalah lebih ke alat transportasinya dan bukanlah kargo yang dibawa. Perihal kargo yang dibawa lebih ditentukan oleh keputusan komersial dan proses supply & demand yang terjadi di pasar bebas yang mana adalah di luar kendali pelaku usaha transportasi laut.

Kedua, bahwa jika kondisi ini diabaikan, maka pemilik kapal di Indonesia akan menghadapi masalah usaha yang berkelanjutan karena akan kesulitan mendapatkan akses pendanaan "hijau" yang pada akhirnya akan menyebabkan sektor pelayaran Indonesia tidak dapat tumbuh dan berkembang dan semakin sulit bersaing dengan kapal-kapal asing. 

Dengan dua masukan tersebut, Indonesian National Shipowners' Association meminta agar OJK dapat mengikuti standar yang ditentukan oleh IMO dan tidak secara spesifik memasukkan pengecualian muatan atau kargo kapal sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan di dalam penyusunan buku panduan TKBI di bidang transportasi laut.

Penundaan PBI 17 Tahun 2015

Tahun 2025 juga menandai sebagai tahun terakhir kebijakan penundaan penerapan kebijakan PBI (Peraturan Bank Indonesia) Nomor 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Transaksi Menggunakan Mata Uang Rupiah bagi sektor pelayaran. Perjuangan pelaku usaha pelayaran Indonesia untuk mendapatkan keringanan ini dimulai pada tahun 2015. Indonesian National Shipowners' Association melalui suratnya kepada Bank Indonesia dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meminta penundaan pelaksanaan PBI No.17 tahun 2015 mengingat kebijakan tersebut akan memberikan dampak buruk bagi usaha pelayaran, terutama sektor offshore dan angkutan curah cair dan gas bumi.

Dalam suratnya No. DPP-SRT-1215037, tertanggal 16 Desember 2015 yang ditujukan kepada Gubernur Bank Indonesia, Indonesian National Shipowners' Association menjelaskan untuk mendukung pemerintah dalam menerapkan UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran secara konsekwen, pelaku usaha pelayaran telah berinvestasi untuk pengadaan kapal dalam jumlah besar, khususnya armada offshore dan kapal-kapal angkutan cair dan gas bumi yang pengadaannya masih dilakukan di luar negeri akibat kemampuan dalam negeri yang terbatas, baik dalam hal kemampuan galangan, pembiayaan maupun perpajakan. 

Pengadaan kapal-kapal tersebut memerlukan dukungan pembiayaan yang sangat besar dengan bunga pinjaman yang kompetitif. Di luar negeri, pembiayaan untuk mendukung pengadaan kapal-kapal tersebut sangat tersedia dengan bunga rendah, hanya 2-5 persen dan dengan tenor yang jauh lebih baik sehingga memungkinkan investasi dilakukan. Oleh karena itu, untuk menjaga keberlangsungan usaha pelayaran sekaligus menyelamatkan investasi pelaku pelayaran nasional, pemerintah memberikan kelonggaran selama 10 tahun sejak 2016 dan akan berakhir pada 2026.

Hingga saat ini, sudah ratusan perusahaan pelayaran yang telah memanfaatkan fasilitas penundaan PBI guna menyelamatkan investasi tersebut. Namun, pada 2026, kebijakan tersebut akan berakhir. Di satu sisi, investasi pengadaan kapal-kapal offshore maupun angkutan oil and gas masih sangat dibutuhkan, baik dalam rangka peremajaan maupun menambah kapasitas sehingga Indonesian National Shipowners' Association berharap ada kebijaksaan yang berkeadilan bagi pelayaran terkait dengan penerapan kebijakan PBI tersebut. 

SE SKKMigas

Hingga 2025 ini, Indonesian National Shipowners’ Association terus meminta Satuan Kerja Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKKMigas) untuk memperbaiki Surat Edaran No. SRT-0102/SKKMA0000/ 2018/S6 tertanggal 07 Februari 2018 tentang Kewajiban Penggunaan Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) Dalam Operasi Perkapalan di Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang selama ini telah meresahkan pelaku usaha pelayaran niaga nasional Indonesia.

Dampak implementasi Surat SKK Migas No. SRT-0102/ SKKMA 0000/ 2018/S6 tertanggal 07 Februari 2018 tentang Kewajiban Penggunaan Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) dalam Operasi Perkapalan di Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi tersebut bagi sektor pelayaran offshore Indonesia sangat dirasakan.

Surat SKKMigas tersebut tidak sejalan dengan Undang-Undang (UU) No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran pasal 129 yang berbunyi: Badan klasifikasi nasional atau badan klasifikasi asing yang diakui dapat ditunjuk melaksanakan pemeriksaan dan pengujian terhadap kapal untuk memenuhi persyaratan keselamatan kapal.

Padahal berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No.61 tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perhubungan No.7 tahun 2013 tentang Kewajiban Klasifikasi bagi Kapal Berbendera Indonesia pada Badan Klasifikasi, pada Pasal 2 menegaskan jika kapal berbendera Indonesia jenis dan ukuran tertentu wajib diklasifikasikan pada badan klasifikasi.

Adapun pasal 3 menjelaskan jika badan klasifikasi yang dimaksud terdiri atas badan klasifikasi nasional dan badan klasifikasi asing yang diakui. Badan klasifikasi yang diakui merupakan anggota International Association of Classification Society (IACS).

Adapun klasifikasi member IACS terdiri dari American Bureau of Shipping (ABS), Bureau Veritas (BV),China Classification Society (CCS), Croatian Register of Sttipping (CRS), Det Norske Veritas (DNV), Germanischer Lloyd (GL), Indian Register of Shipping (IRS), Korean Register of Shipping (KR), Lloyd's Register (LR), Nippon Kaiji Kgokai (NK/ Class NK), Polish Register of Shipping (PRS), Registro Italiano Navale (RINA) dan Russian Maritime Register of Shipping (RS).

Pelaksanaan Surat SKKMigas tersebut telah menimbulkan biaya tinggi karena pemilik kapal harus melaksanakan double class (klasifikasi luar negeri dan dalam negeri). Selama ini mayoritas stakeholders pelayaran offshore menpercayakan pemeriksaan dan sertifikasi kapalnya kepada klasifikasi yang memiliki kompetensi, kecukupan sumber daya (resources), jaringan (networking) dan dipercaya oleh komunitas serta stakeholders maritim.

Seyogyanya pemerintah membuka kebijakan klasifikasi yang setara bagi klasifikasi dalam negeri maupun luar negeri dalam kegiatan sertifikasi statutory kapal berbendera Indonesia yang beroperasi di luar negeri maupun dalam negeri sesuai dengan amanat UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran. AJ

  • By admin
  • 15 Sep 2025
  • 56
  • INSA