Indonesian National Shipowners’ Association Berlayar, Indonesia Berkibar
Indonesian National Shipowners’ Association Berlayar, Indonesia Berkibar
Organisasi Indonesian National Shipowners’ Association telah berkontribusi secara signifikan dalam bidang Pembangunan ekonomi dan investasi di Indonesia. Sejak dilahirkan oleh pengusaha perusahaan pelayaran angkutan niaga pada tanggal 9 Agustus 1967 dan diakui Pemerintah sebagai satu-satunya organisasi perusahaan pelayaran niaga berdasarkan Surat Keputusan Menteri Maritim No. DP.10/7/9 tanggal 6 September 1967, organisasi ini terus berkiprah sesuai bidangnya.
Memastikan distribusi logistik barang mencapai tujuannya adalah kewajiban yang dilaksanakan oleh para anggota hingga saat ini. Namun, perubahan dan tuntutan zaman membawa perubahan bagi organisasi. Oleh karena itu, agar tidak ditelan zaman, maka Indonesian National Shipowners’ Association memperkenalkan slogan baru yaitu “Indonesian National Shipowners’ Association Berlayar, Indonesia Berkibar”
Slogan baru ini diperkenalkan Ketua Umum Indonesian National Shipowners’ Association Siana A. Surya pada saat acara buka puasa bersama yang digelar di Jakarta pada tanggal 11 Maret 2025.
Dengan slogan baru ini, spirit organisasi dalam membangun Indonesia, membangun bangsa dan negara tercinta akan terus berkibar seperti halnya bendera Merah Putih yang berkibar pada saat kapal berlayar mengarungi laut dan samudera. Pada momentum tersebut, Ketua Umum juga memperkenalkan visi baru organisasi yakni “Untuk menciptakan asosiasi nasional inklusif yang memberdayakan pemilik kapal, mendorong inovasi, keberlanjutan dan daya saing di bidang maritim.”
Adapun misinya adalah mengadvokasi kebijakan yang meningkatkan daya saing dan ketahanan maritim nasional, dan membina jaringan di antara pemilik kapal untuk mempromosikan praktik terbaik yang berkelanjutan.
Siana juga menjelaskan program guna memperluas jangkauan informasi kepada anggota & stakeholders melalui kegiatan pengembangan website organisasi dan podcast.
Taksonomi
Buku panduan TKBI versi 2, mencantumkan aspek jenis muatan atau kargo kapal yang mana tidak di lakukan baik oleh Asean Taxonomy maupun dokumen IMO. Hal ini akan memberikan dampak negatif terhadap usaha pelayaran, khususnya dalam memenuhi klasifikasi “hijau”.
Sebagai gambaran atas kondisi ini, kapal yang memenuhi standar IMO tetapi mengangkut bahan bakar fosil (contohnya minyak mentah), tetap diperbolehkan oleh Asean Taxonomy & IMO, akan tetapi dalam TKBI versi 2 akan dikecualikan.
Prinsip pengaplikasian ketentuan IMO adalah lebih ke alat transportasi dan bukan kargo yang dibawa. Kargo yang dibawa ditentukan oleh keputusan komersial dan proses supply & demand yang terjadi di pasar dimana ini adalah di luar kendali pelaku usaha transportasi laut.
Jika kondisi ini diabaikan, maka pemilik kapal di Indonesia akan menghadapi masalah usaha yang berkelanjutan karena akan kesulitan mendapatkan akses pendanaan “hijau” yang pada akhirnya akan menyebabkan sektor pelayaran di Indonesia tidak dapat tumbuh dan berkembang dan semakin sulit bersaing dengan kapal-kapal asing.
Indonesian National Shipowners' Association meminta agar OJK dapat mengikuti standar yang ditentukan oleh IMO dan tidak secara spesifik memasukkan pengecualian muatan atau kargo kapal sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan di dalam penyusunan buku panduan TKBI di bidang transportasi laut.
Revisi Ketiga UU Pelayaran
Pada tanggal 28 Oktober 2024, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang No.66 tahun 2024 yang merupakan perubahan ketiga atas UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.
Perubahan UU tersebut merupakan respon dari perkembangan transportasi di bidang Pelayaran yang dinamis sehingga dibutuhkan revisi terhadap UU tentang Pelayaran dalam rangka sinkronisasi dengan materi UU tentang Cipta Kerja, serta guna menjawab perkembangan, dan kebutuhan hukum di masyarakat dalam penyelenggaraan usaha di bidang Pelayaran.
Revisi tersebut memperketat kebijakan untuk mendapatkan izin berusaha di bidang angkutan laut yang dibentuk melalui joint venture dengan perusahaan luar negeri. Joint venture dengan perusahaan pelayaran asing hanya dapat dilaksanakan oleh perusahaan angkutan laut yang seluruh sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia.
Perusahaan hasil joint venture tersebut harus memiliki dan mengoperasikan kapal berbendera Indonesia dengan ukuran paling rendah 50.000 GT per kapal dan wajib diawaki oleh awak berkewarganegaraan Indonesia sebagaimana pasal 29.
Kapal yang dioperasikan oleh perusahaan hasil joint venture tersebut, baik perusahaan angkutan laut niaga maupun usaha angkutan laut khusus, wajib mendaftarkan kapalnya dengan ukuran paling rendah 50.000 GT per kapal sesuai dengan pasal 158A.
Impor Kapal
Permendag Nomor 8 tahun 2024 pada lampiran II mengatur tentang importasi kapal Tanker Gas melebihi 3.500 m3 dan Tanker Kimia melebihi 5.000 DWT ke dalam kelompok Barang Modal Tidak Baru (BMTB) yang dibatasi usia yang boleh diimpor paling lama berusia 25 tahun.
Pada kebijakan tersebut, terdapat permasalahan dikarenakan kurang lengkapnya HS Code yang dijadikan acuan. HS Code yang dijadikan acuan pada Permendag Nomor 8 tahun 2024 pada lampiran II adalah HS Code 8901.20.71 (Tanker dengan tonase kotor melebihi 5.000 tetapi tidak melebihi 20.000) dan HS Code 8901.20.72 (Tanker dengan tonase kotor melebihi 20.000 tetapi tidak melebihi 30.000).
Padahal Kapal Gas untuk pengangkutan LPG yang mempunyai kapasitas melebih 3.500 m3 yang lazim adalah berukuran 5.000 m3 dan mempunyai tonase kotor di bawah 5.000 GT. Sedangkan kapal Tanker Kimia/Aphalt dengan bobot mati melebihi 5.000 yang lazim adalah berukuran sampai dengan 9.900 DWT dan memiliki tonase kotor dibawah 5.000 GT.
Dengan demikian kapal-kapal jenis tersebut tidak terakomodasi oleh HS Code 8901.20.71 (Tanker dengan tonase kotor melebihi 5.000 tetapi tidak melebihi 20.000) dan HS Code 8901.20.72 (Tanker dengan tonase kotor melebihi 20.000 tetapi tidak melebihi 30.000) sebagaimana poin 2. Kebijakan itu tidak memberikan kepastian hukum, kepastian investasi dan kepastian atas ketersediaan kapal-kapal angkutan laut jenis Tanker Gas dan Tanker Chemical/Asphalt, yang saat ini sangat dibutuhkan guna memastikan ketersediaan angkutan bahan bakar gas dalam negeri.
Oleh karena itu, perlu dilakukan perbaikan Permendag dengan melakukan penambahan HS Code 8901.20.50 untuk Kapal Gas melebihi 3.500 m3 dan Tanker Chemical melebihi 5.000 DWT di Lampiran II.
Pada post tarif ex 8901.20.50 diperbaiki menjadi dengan tonase kotor tidak melebihi 5.000 hanya untuk kapal Tanker Gas melebihi 3.500 m3; atau hanya untuk kapal Tanker Asphalt dan Tanker Chemical melebihi 5.000 DWT/LTDW.
Sertifikat Statutory Kapal.
Pendelegasian kewenangan untuk melakukan survey dan penerbitan sertifikat statutory kapal berbendera Indonesia yang berlayar di luar negeri oleh Kementerian Perhubungan hanya diberikan secara eksklusif kepada PT BKI (Persero).
Di sisi lain, PT BKI masih memiliki keterbatasan kantor cabang di luar negeri sehingga kapal-kapal berbendera Indonesia yang beroperasi di luar negeri kesulitan untuk memperoleh layanan survey dan sertifikasi statutoria dengan Cepat, sehingga dapat menghambat layanan logistik.
Dengan BKI sebagai lembaga tunggal yang mendapatkan delegasi kewenangan melaksanakan survey dan sertifikasi statutoria kapal berbendera Merah Putih yang beroperasi di luar negeri, serta keterbatasan jumlah kantor cabang BKI di luar negeri, maka kapal-kapal berbendera Indonesia yang beroperasi di berbagai negara lain sangat sulit memperoleh layanan kegiatan survey dan sertifikasi statutoria dengan cepat.
Dampaknya, kapal-kapal berbendera Indonesia di luar negeri kehilangan kesempatan bisnis dan tidak dapat memperlihatkan kinerja yang optimal pada saat ada masalah dengan survey dan penerbitan sertifikat statutoria di karenakan terbatasnya jangkauan BKI sebagai lembaga tunggal yang ditunjuk Pemerintah untuk melakukannya.
Indonesian National Shipowners' Association mengusulkan agar pendelegasian kewenangan survey dan sertifikasi statutoria kapal berbendera Indonesia yang beroperasi di luar negeri juga dapat diberikan kepada Badan Klasifikasi yang diakui keberadaannya oleh Pemerintah sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan No.61 tahun 2014. AJ
- By admin
- 14 May 2025
- 101
- INSA