Mahalnya Biaya Angkutan Laut Jadi Sorotan Wantimpres
Mahalnya Biaya Angkutan Laut Jadi Sorotan Wantimpres
Jakarta—Mahalnya Biaya Angkutan Laut Jadi Sorotan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Baru-baru ini, Indonesian National Shipowners’ Association menerima email dari Biro Data dan Informasi Sekretariat Wantimpres yang dikirimkan oleh Agung Darmawan.
Dalam surat tersebut, Agung Darmawan meminta kepada Indonesian National Shipowners’ Association untuk memberikan data dan informasi biaya bongkar muat barang di pelabuhan dan perizinan logistik yang dikeluarkan pengusaha pelayaran nasional maupun informasi pendukung lainnya terkait dengan biaya dan perizinan logistik.
Indonesian National Shipowners’ Association telah menjawab email tersebut melalui Surat No. DPP-SRT-IX/20/052 tertanggal 17 September 2020 yang ditujukan kepada Kepala Biro Data dan Informasi Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden.
Dalam surat tersebut, Indonesian National Shipowners’ Association menyampaikan bahwa saat ini biaya angkutan laut di Indonesia terbilang masih sangat mahal sehingga harus menjadi perhatian bersama.
Menurut Indonesian National Shipowners’ Association, ada beberapa hal yang menjadi penyebab mahalnya biaya angkutan laut di Indonesia. Diantaranya adalah biaya kepelabuhanan yang relatif tinggi dan penerapan kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor angkutan laut yang cukup memberatkan.
Terkait dengan biaya kepelabu-hanan, Indonesian National Shipowners' Association menjelaskan bahwa saat ini biaya kepelabuhanan di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan biaya kepelabuhanan di negara-negara ASEAN atau sejumlah negara di Asia.
Sebagai gambaran, biaya kepelabuhanan, khususnya di Tanjung Priok adalah sebesar USD 9,627 per jam untuk kapal 17.000 GRT. Adapun komponen biayanya adalah sebagai berikut Anchor/Harbour Dues (USD 1.877), Quay/Berth Dues (USD 2.082), Pilot Dues (USD 901), Towage Dues (USD 3.806), Mooring (USD 84) dan Light Does (USD 877).
Biaya tersebut jauh lebih mahal dibandingkan dengan biaya Pelabuhan di sejumlah negara seperti Singapura (USD 5.052), Pelabuhan Port Klang (USD 3.000), Pelabuhan Laem Chabang (USD 8.017), Pelabuhan Hochiminh (USD 5.200), Pelabuhan Manila (USD 4.493) dan Pelabuhan Hong Kong (USD 5.511).
Selain itu, penerapan kebijakan Peraturan Pemerintah No.15 tahun 2016 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Laut No. KU.404/2/11/DJPL-15. Dalam kajian Indonesian National Shipowners’ Association terhadap PP tersebut, ditemukan data sebagai berikut:
- Terdapat 435 pos tarif atau 51% tarif baru dari seluruh pos tarif, dan 482 pos tarif atau 57% dari seluruh pos tarif PNBP yang naik 100% hingga 1.000% jika dibandingkan dengan pos taif yang diatur berdasarkan PP No.6 tahun 2009. Kenaikan tarif 1.000% ditemukan a.l pada tarif penggunaan perairan untuk bangunan dan kegiatan lainnya diatas air yang naik 10x lipat dari dari 250 per M2 per tahun menjadi Rp2.500 per M2 per tahun.
- Terdapat pos tarif yang tidak jelas pelayanannya, tetapi harus dibayar (No service but pay). Sebagai contoh adalah tarif PNBP atas pengawasan kegiatan bongkar muat barang di pelabuhan yang tidak jelas manfaatnya, tetapi ditagihkan tarifnya sebesar 1% dari total tarif bongkar muat barang di pelabuhan.
- Rumus dan perhitungan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang ditetapkan berdasarkan peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan No. KU.404/2/11/DJPL-15 tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku pada umumnya yakni:
- Perhitungan tarif PNBP untuk kelompok sewa perairan dengan rumusan pada pasal 12 huruf c angka 4 yang naik hingga 76 kali lipat. Contohnya adalah tarif PNBP atas kapal FSO yang dihitung dengan rumus luas bangunan perairan dihitung dengan jari- jari sama dengan ukuran panjang kapal (LOA) terbesar termasuk peralatan bantu yang digunakan ditambah 25% atau A=π x (L + 25 M)2 dengan π= (22/7). Dengan simulasi panjang kapal FSO 267,90 M, maka tarif PNBP meningkat dari Rp67 juta pada 2009 menjadi Rp5,1 miliar pada 2016.
- Perhitungan tarif PNBP atas sertifikat kapal seharusnya memiliki kejelasan masa berlakunya. Dan tarif PNBP dibayar secara prorata jika masa berlakunya lebih pendek dari masa berlaku yang ditetapkan di dalam PP No.15 tahun 2016.
- Perhitungan tarif PNBP navigasi adalah dihitung 15 hari. Jika jumlah hari yang digunakan kurang dari 15 hari, seharusnya dihitung pro- rata sesuai dengan hari yang digunakan, bukan tetap menjadi 15 hari.
Oleh karena itu, Indonesian National Shipowners' Association menyampaikan kepada Wantimpres bahwa sudah sejak lama mengusulkan agar PP tentang PNBP direvisi.
Sebab, penerapan PP tersebut sangat memberatkan usaha angkutan laut dan tidak mendukung terwujudnya cita-cita Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan ekonomi berkeadilan di Indonesia.
- By admin
- 01 Oct 2020
- 1655
- INSA